Setelah beberapa hari menikmati kehangatan keluarga dan suasana kampung halaman, Hutama mulai menjalani hari-harinya dengan penuh rasa syukur. Kepulangan ke Yogyakarta tidak hanya memberinya waktu untuk melepas rindu, tapi juga membuka pintu-pintu baru dalam hidupnya. Di tengah rutinitas sederhana di desa, Hutama bertemu dengan sosok yang kelak akan menjadi teman hidupnya, Fera.
Fera adalah seorang mahasiswi yang ternyata satu almamater dengan Hutama. Wajahnya cerah dengan senyum tulus yang membuat siapa pun yang bertemu merasa nyaman. Kesan pertama yang Hutama dapatkan saat melihat Fera adalah ketulusan dan kehangatan yang terpancar darinya. Tidak seperti kebanyakan orang kota, Fera membawa semangat yang berbeda, semangat untuk menyelesaikan studi dengan sempurna yakni mendapatkan predikat cum laude.
Pertemuan pertama mereka terjadi secara tidak sengaja saat Hutama membantu kegiatan organisasi mahasiswa tempat ia bernaung waktu kuliah dulu. Fera yang lewat menyalami dengan ramah dan menawarkan bantuan untuk menyiapkan makanan ringan. Obrolan ringan yang dimulai dari sana berkembang menjadi percakapan yang lebih mendalam setiap harinya. Mereka berbagi cerita tentang kehidupan, mimpi, dan perjuangan masing-masing.
Hutama sering bercerita tentang pengalamannya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Ia menceritakan bagaimana ia harus beradaptasi dengan lingkungan yang jauh berbeda, menghadapi cuaca yang panas dan suasana hutan yang lebat. Meski demikian, ia merasa bangga bisa menjalankan tugasnya, membantu masyarakat di daerah yang penuh tantangan itu.
Fera pun berbagi cerita tentang kehidupannya sebagai mahasiswa dan sebagai pengurus organisasi mahasiswa, betapa ia merasa bahagia bisa memberi ilmu dan membentuk karakter teman-teman mahasiswa lainnya melalui program kerja organisasi. Namun, ia juga mengakui bahwa ada kalanya rasa rindu dan kesepian melanda, terutama ketika harus jauh dari keluarga karena keluarga Fera berada di Purworejo sedangkan ia harus tinggal di kos untuk menyelesaikan studinya di Kabupaten yang berjarak 60 km dari Yogyakarta.
Hari demi hari, pertemuan mereka semakin intens dan hangat. Ada perasaan yang tumbuh perlahan di antara mereka, sebuah rasa yang lebih dari sekadar teman. Di balik tawa dan cerita, keduanya mulai menyadari bahwa mereka saling melengkapi. Hutama yang selama ini berjuang keras di perantauan merasakan kenyamanan dan ketenangan saat bersama Fera. Begitu pula Fera, yang merasa mendapatkan kekuatan baru dari sosok Hutama.
Suatu sore, di tengah hamparan sawah yang hijau dan udara yang mulai sejuk saat matahari terbenam, Hutama mengajak Fera berjalan-jalan. Suasana tenang dan damai menyelimuti mereka, membuat suasana hati menjadi semakin terbuka.
“Kau tahu, Fera,” Hutama membuka percakapan dengan suara pelan, “Aku sudah lama memikirkan sesuatu yang penting.”
Fera menatapnya penuh perhatian, merasa ada sesuatu yang berbeda dari Hutama hari itu.
“Aku ingin mengajakmu ikut denganku ke Lamandau,” lanjut Hutama. “Aku sudah memiliki pekerjaan tetap di sana, dan aku ingin membangun masa depan bersama. Aku ingin kau menjadi bagian dari hidupku, tidak hanya di sini, tapi juga di tempat aku berjuang selama ini.”
Fera terdiam, matanya menatap pemandangan luas di depan mereka. Ia memikirkan segala hal; meninggalkan keluarganya, meninggalkan desa yang sudah ia cintai, dan menjalani kehidupan yang baru di tempat yang sangat berbeda. Namun, ada juga kepercayaan dan harapan yang tumbuh dalam hatinya.
“Aku siap, Hutama,” akhirnya Fera menjawab dengan suara mantap. “Aku ingin bersama-sama membangun masa depan, di mana pun itu. Jika itu membuatmu bahagia, aku akan ikut merantau ke Lamandau.”
Keputusan itu bukan hanya tentang pindah tempat tinggal, tapi juga tentang memilih untuk memulai babak baru dalam hidup. Bersama, mereka mempersiapkan segala sesuatunya dengan penuh semangat dan keyakinan.
Kabar tentang rencana Hutama dan Fera segera sampai ke keluarga Hutama di Yogyakarta. Orang tua Hutama, yang selama ini hanya bisa mendoakan dan mendukung dari jauh, kini merasa sangat bahagia. Mereka menyambut berita itu dengan senyum dan air mata kebahagiaan.
“Kami bersyukur kau menemukan pendamping yang baik, Nak,” kata ayah Hutama sambil menepuk bahu anaknya. “Semoga kalian bisa saling mendukung dan menjadi keluarga yang sakinah.”
Ibu Hutama pun menambahkan, “Doa kami selalu menyertai kalian berdua. Ingatlah untuk selalu menjaga hati dan saling menghargai.”
Persiapan untuk merantau kembali pun dimulai. Hutama dan Fera membeli perlengkapan, mengurus administrasi, dan mempersiapkan diri untuk meninggalkan Yogyakarta. Meskipun berat meninggalkan kampung halaman, mereka tahu ini adalah langkah yang harus diambil demi masa depan.
Saat hari keberangkatan tiba, suasana penuh haru menyelimuti rumah Hutama. Tetangga dan keluarga berkumpul untuk mengantarkan mereka. Ada doa-doa tulus yang mengiringi perjalanan mereka ke Lamandau.
Perjalanan dari Yogyakarta ke Lamandau memakan waktu sehari, melewati daratan dan udara, hingga akhirnya mereka tiba di kota kecil di Kalimantan Tengah itu. Lamandau berbeda jauh dengan Yogyakarta; suasananya lebih sepi, alamnya masih alami, dan penduduknya ramah tapi sederhana.
Hutama membawa Fera berkeliling mengenalkan tempat kerjanya dan lingkungan sekitar. Mereka mulai menata kehidupan baru bersama, beradaptasi dengan cuaca, budaya, dan tantangan yang ada. Fera pun ikut tes CPNS disana dan takdir dari Tuhan berkata kalau Fera juga lolos sebagai PNS di Pemda Lamandau, sementara Hutama menjalankan tugasnya sebagai PNS dengan penuh dedikasi.
Meski awalnya sulit, perlahan mereka bisa menyesuaikan diri. Kebersamaan dan dukungan satu sama lain membuat semuanya terasa ringan. Fera merasa bahagia bisa berkontribusi sebagai abdi negara disana, sementara Hutama merasa lebih lengkap dengan kehadiran Fera di sisinya.
Malam-malam di Lamandau mereka habiskan dengan berbincang tentang mimpi dan harapan. Mereka berjanji untuk selalu menjaga komunikasi dengan keluarga di Yogyakarta maupun di Purworejo, dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik setiap hari.
Kepulangan Hutama ke Jogjakarta menjadi titik balik dalam hidupnya, tapi pertemuan dengan Fera dan keberanian mereka mengambil langkah bersama di Lamandau membuka bab baru yang penuh harapan. Kisah mereka menjadi bukti bahwa cinta dan perjuangan bisa berjalan beriringan, menguatkan setiap langkah dalam meraih masa depan yang cerah.
Orang tua Hutama pun merasa bangga melihat anaknya tumbuh dewasa, tidak hanya sebagai PNS yang sukses, tapi juga sebagai pria yang siap membangun keluarga dan menghadapi tantangan hidup dengan penuh cinta dan tanggung jawab.
Di tengah kesibukan dan tantangan, Hutama dan Fera tetap mengingat asal-usul mereka. Mereka berjanji suatu saat akan kembali ke Jogjakarta, membawa cerita dan pengalaman baru yang akan mereka bagi kepada keluarga dan kampung halaman.
Dan demikianlah, kisah seorang anak rantau yang pulang membawa kebanggaan, menemukan jodohnya, dan merantau kembali bersama untuk menatap masa depan. Sebuah perjalanan tentang cinta, keberanian, dan harapan yang tak pernah padam.
Kreator : Galih Satria Hutama
Comment Closed: Pertemuan Tak Terduga dan Ajakan Merantau ke Lamandau
Sorry, comment are closed for this post.