Kuterima suratmu telah kubaca dan aku mengerti
Betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku
Di dalam hari-harimu, bersama lagi
Kau tanyakan padaku “Kapan aku akan kembali lagi”
Katamu kau tak kuasa melawan gejolak di dalam dada
Yang membara menahan rasa pertemuan kita nanti
….
Lantunan lagu itu yang selalu terngiang di telingaku bahkan dalam pikiran dan perasaanku. Bagaimana tidak, ketika baru saja menikah telah ditinggal pergi untuk tugas belajar selama dua tahun. Ya, jarak memisahkan dua insan yang baru aja bersatu-padu. Bahkan menyatunya dua insan ini tanpa proses berpacaran.
Aku mengenalnya sudah lama ketika sama-sama menjadi aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa. Kegiatan kemahasiswaan yang mensyiarkan kebajikan atau lebih tepatnya Lembaga Dakwah Islam di Perguruan Tinggi. Segala aktivitas dipagari oleh kelompok ikhwan atau laki-laki dan kelompok akhwat atau perempuan. Tidak ada bunga-bunga cinta kecuali kecintaan kepada Sang Khalik, sesama insan, sesama makhluk hidup maupun tak hidup sebagai upaya mahabbah Lillahi Ta’ala. Semua penanaman nilai-nilai kehidupan yang baik dan benar terpatri dalam sanubari dan segala gerak langkah kami.
Hingga suatu masa kami tercerai berai karena telah lulus kuliah dan menempuh jalan hidup masing-masing dalam masyarakat. Ibarat kata, kembali ke kampung halaman atau kota kelahiran untuk menjalani tugas berikutnya. Ada yang akhirnya dipersatukan menjadi pasangan suami istri pasca kuliah. Mungkin demikian titah Tuhan untuk hamba-Nya. Yang pasti, insya Allah kesucian lahir batin selama berkiprah tetap terjaga sampai akhirnya dihalalkan dalam akad nikah.
Walaupun aku menjalani titah tak semulus teman-teman aktivis lainnya. Aku terjeda agak lama untuk menuntaskan kuliah. Namun, akhirnya aku dipertemukan kembali dengan teman seperjuangan semasa kuliah. Itu pun aku “dijodohkan” oleh teman sepasang suami istri yang lebih dulu menikah. Dia adalah Mas Iqro’ Ketua Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) dan Mbak Jeki Ketua An Nisa UKKI angkatan tahun 1992-1993.
“Wik, Kamu kok belum menikah juga?” tanya mbak Jeki waktu itu.
“Ya, begitulah, Mbak. Aku baru akan wisuda bulan depan.” jawabku waktu itu.
“Gimana kalau kamu menikah sama Mas Joesti saja. Itu lho, sekretaris UKKI semasa Mas Iqro’ jadi ketuanya?” lanjut Mbak Jeki.
Jawabku singkat, “Apa Dia mau sama Aku?”
“Besok biar disampaikan, Mas Iqro’ ya?” komentar Mbak Jeki berikutnya.
Itulah awal percakapan perjodohanku dengan Mas Joesti. Singkat cerita Mas Joesti menemuiku di rumah kontrakan Stonen 32. Pertemuan sebentar tanpa banyak kata. Pembiasaan kami kalau ada tamu lawan jenis pun harus ada temannya bahkan kadang juga dibalik tabir.
Tanpa waktu lama, kedua orang tua kami bertemu pula dan saling menentukan rencana pernikahan. Dan tepat seminggu sebelum hari pernikahan Mas Joesti dapat panggilan untuk tugas belajar Diploma IV Teknik Elektronika di Institut Teknologi Surabaya.
Begitulah perputaran roda kehidupan, aku pun tetap dengan suka cita mendengar kabar itu. Aku tidak pernah membayangkan bahwa setelah akad nikah aku ditinggal pergi. Sendiri lagi meskipun sudah bersuami. Tapi semua itu aku jalani dengan masih tinggal di rumah kontrakan bersama teman-teman akhwat lainnya.
Pada awalnya seminggu sekali Mas Joesti pulang. Kami bertemu di rumah mertuaku atau rumah ayah ibu suamiku. Ya, weekend bersama suami tiap minggu. Mungkin hanya berlangsung tiga bulan pertama pernikahan kami.
“Dik, tugas kuliah dan kuliah sepertinya makin padat, aku akan pulang dua minggu sekali kayaknya?” begitu ucap Mas Joesti suatu hari.
“Ya, ga apa-apa, Mas. Aku juga banyak tugas dan pekerjaan tambahan dari sekolah apalagi menjelang tahun ajaran baru,” timpalku saat itu.
Bahkan waktu berikutnya bertambah panjang, pulang sebulan sekali atau dua bulan sekali.
Begitulah awal perjuangan keluarga muda yang masih seumur jagung ini. Semua kami jalani, kami nikmati, dan kami syukuri. Kami selalu berprasangka baik atas takdir Illahi. Kami saling memberi kepercayaan atas segala aktivitas kami. Kami belum memiliki gawai, hanya ada telepon di rumah kontrakan. Kalaupun ada kesempatan, bertelepon via warung telekomunikasi. Dan alat komunikasi yang paling murah meriah tetapi bisa bercerita panjang adalah melalui surat.
Dan di tiap akhir suratku selalu kulayangkan kata-kata lirik lagu “Kangen” Dewa 19. Coretan pena tempat menuangkan segala rasa dan asa turut mewarnai perjalanan cinta kami. Sampai akhirnya dua tahun meraih gelar Sarjana Teknik dan aku menemani prosesi wisuda.
Kreator : Dwi Astuti
Comment Closed: Kesabaran dalam Penantian
Sorry, comment are closed for this post.