Aku tumbuh sebagai anak prajurit. Dari kecil aku sudah terbiasa melihat bagaimana hidup keluarga prajurit berjalan, pindah tugas, disiplin, dan penuh kejutan. Mungkin itu juga yang membuatku dulu bercita-cita menikah dengan seorang prajurit, bahkan bermimpi bisa melewati prosesi pedang pora di hari pernikahanku. Tapi Allah selalu punya cara-Nya sendiri.
Waktu itu aku malah jatuh cinta pada seorang calon dokter. Aku masih ingat komentar pertama Papa ketika dikenalkan, “Kalau sama dokter, nggak bisa pedang pora loh…” katanya setengah bercanda. Aku hanya bisa tersenyum, menelan bulat-bulat kenyataan bahwa mimpi kecilku seolah buyar. Tapi ternyata Allah Maha Mendengar. Di tahun 2016, aku tetap digandeng erat oleh seorang dokter yang juga seorang prajurit. Di bawah payung pedang pora, mimpi kecil itu Allah wujudkan dengan cara yang lebih indah.
Sebelum menikah, aku sudah menapaki jalan karier sendiri. Lulus sebagai Sarjana Kesehatan Masyarakat, aku bekerja di lapangan, bertemu banyak orang, dan merasa senang karena bisa belajar banyak hal. Aku juga melanjutkan kuliah magister sambil tetap bekerja. Hingga akhirnya aku benar-benar menemukan passion saat menjadi dosen. Mengajar, berdiskusi dengan mahasiswa, dan meneliti, membuatku merasa inilah tempatku. Bahkan, seorang profesor dari Perth, Australia pernah menawari aku beasiswa S3. Bagiku, itu adalah kesempatan emas.
Tapi di saat yang sama, kehidupan pernikahan mengajakku ke arah yang lain. Suamiku harus bertugas di Manokwari, Papua Barat. Pilihan sulit itu pun datang: melanjutkan studi ke Australia atau ikut suami ke tanah yang bahkan tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Aku masih ingat, banyak orang yang menyayangkan keputusanku. “Sayang banget, Cha. Kesempatan itu nggak datang dua kali,” begitu kata mereka. Tapi hatiku mantap. Aku percaya, rezeki seorang istri ada pada keberkahannya mengikuti suami. Aku memilih untuk ikut, meski berarti harus meninggalkan semua kenyamanan karier dan peluang yang sudah di depan mata.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Manokwari, aku bahkan tersenyum sendiri. Aku yang lahir dan besar hanya di satu kota, tiba-tiba harus belajar hidup di pulau paling ujung Indonesia. Teman-temanku pun berkomentar, “Papua, Cha? Jauhnya…” Tapi entah kenapa aku tetap tenang. Aku selalu percaya, kalau niatnya berbakti pada suami, pasti Allah siapkan rezekinya sendiri.
Di RSAL Manokwari, aku sempat bekerja membantu akreditasi rumah sakit. Tapi hidup sebagai istri tentara itu penuh kepindahan. Satu tahun berlalu, suamiku ditugaskan lagi ke Batam, lalu ke Jakarta. Setiap kali aku baru menata langkah, ada saja mutasi baru. Sampai akhirnya aku sadar, mungkin inilah cara Allah mengajakku berhenti sebentar dari dunia kerja yang menuntut banyak waktu, lalu beralih pada sesuatu yang lebih fleksibel: mendampingi suami, mengurus rumah, dan perlahan merintis usaha sendiri.
Hijrahku dimulai dari sini. Dari yang dulu mengejar pencapaian duniawi, berubah menjadi orientasi untuk akhirat. Aku belajar melepaskan sesuatu yang aku suka, untuk sesuatu yang Allah sukai. Aku belajar bahwa tak semua doa dijawab dengan cara yang kita mau, tapi selalu dijawab dengan cara terbaik menurut-Nya.
Kini aku melihat ke belakang, dan aku tahu: memilih ikut suami ke Papua, meninggalkan tawaran S3, bahkan meninggalkan peluang jadi dosen di universitas ternama, adalah bagian dari perjalanan berhijrahku. Aku ingin hidupku bukan hanya tentang prestasi dan gelar, tapi tentang ridho Allah dan keberkahan keluarga. Karena itu, bagiku hijrah adalah ketika orientasi hidupku berubah. Dari ingin “punya banyak pencapaian” menjadi ingin “punya banyak bekal dan alasan untuk pulang ke surga bersama orang-orang yang kucintai.”
Kreator : Khairunissa (UmmuHanaHasan)
Comment Closed: Bab 1 – Resign & Mengikuti Suami
Sorry, comment are closed for this post.